Kamu takkan pernah tahu berartinya hidup jika belum pernah merasakan kesulitan
Hari minggu yang cukup berarti bagiku.
Tiga hari yang lalu, seorang teman mengirim sebuah pesan singkat melalui whatsapp.
“Beb, lo bisa bantu gue gak?”
“Bantu apaan beb?”
“Bantu jaga lapak gue di kampus. Gak lama kok, dari pagi sampai siang. Tenang, ada komisi kok.”
Aku berpikir sejenak. Menjaga lapak? Berarti jadi penjual dong. Di kampus? Duh pasti banyak mahasiswa kan. Sudah tiga bulan kaki ini mager tingkat dewa gak pernah ke kampus lagi sejak wisuda tahun lalu. Namun, aku menimbang-nimbang tawaran temanku. Buang gengsi jauh-jauh. Begitu pikirku. Malah, ada suara kecil dalam hatiku yang kagum dengan sosok temanku ini. Dia perempuan lincah dan selalu optimis. Masa aku kalah? Yang benar saja. Lagian, sudah hampir dua bulan sejak memutuskan resign dari pekerjaan aku diserang mager akut luar biasa dan hanya bersemedi di dalam kamar. Tentunya bersama kucingku. Jadi, sudah kuputuskan. Aku menerima tawaran temanku.
“Oke beb, bisa kok.”
“Waah, makasih banyak beb. Lo bisa ajak temen kok. Tapi, komisinya dibagi dua yah. See you there.”
Rasanya seperti kehilangan satu beban. Membunuh sedikit rasa mager (malas bergerak) itu punya kepuasan tersendiri. Terlebih lagi, aku sudah punya satu teman yang bisa kuajak. Secara, aku gak punya motor, dan temanku ini, selain super humor, paling tidak aku gak jalan sendirian hihi.
Esoknya, pagi-pagi sekali, aku bergegas ke kampus itu. Aku datang telat karena mesti nunggu temanku yang telat bangun. Bayangin aja, dia tidur pukul 4 subuh, aku pukul 3 subuh. Pukul 7 kami sudah harus on the way ke kampus.
Oiyah, nama temanku yang super humor itu, Ayu. Percaya deh, orang segalau apapun kalau dekat dia bakal ikut tertawa terpingkal-pingkal. Saat diperjalanan pun, aku sering tertawa karena ocehannya.
Tau gak, aku gak nanya sama sekali ke temanku yang punya lapak soal acaranya disana tentang apa. Aku iyah iyah aja pas diajak. Pesan temanku cuma satu, infoin ke Ayu buat pake jilbab. And you know what? Sesampainya di lokasi, aku sempat tertegun, rasanya pengin punya roket yang sekali dipencet bisa meluncur ke langit seketika. Setidaknya begitu gambaran respon reflekku saat berada di tempat baru yang cukup membuatku minder, merasa asing, dan entah perasaan aneh yang tiba-tiba muncul karena mungkin well, aku merasa rendah banget.
Ada puluhan perempuan bercadar! Ternyata, temanku buka lapak disebuah seminar islami yang pesertanya rata-rata muslimah baaanget menurutku.
Gak hanya aku, Ayu temanku pun merasa demikian. Kami merasa minder bukan karena anti cadar atau apalah, kami juga kan sama orang islam. Cuma, kan ada yang penampilannya muslimah banget. Dan aku merasa terciduk. Kenapa? Karena pakaianku colourful baaanget. Baju pink dipadu dengan rok biru navi serta jilbab yang aku lupa jenis apa, itu bermotif selaras dengan pakaianku. Kesannya, itu ceria banget. Nyeseeel banget dalam hati kenapa gak pake jilbab hitam aja coba. Ayu masih mendigan dia. Pake jilbab hitam. Jadi, keliatannya selaras dengan peserta seminar yang kebanyakan bercadar, jilbab panjang, dan rata-rata warna hitam. Bener-bener merasa terciduk.
Baca Juga: Meet and Greet With Ambassador Telkomsel
Seketika itu, perutku mules. Aku gak jadi masuk di beranda tempat seminar. Barulah setelah selesai kompromi dengan perutku, aku dan Ayu memberanikan diri menghampiri lapak temanku. Dan gawatnya, temanku sudah ikut masuk di area seminar, jadi dia tidak bisa menemui kami.
Awalnya, aku sangat gugup. Lapak temanku gak pake tenda pada umumnya. Lapaknya berada di beranda lokasi. Jadi, kami duduk lesehan bersama lapak lain. Percaya gak, pas aku duduk, di kanan kiriku juga duduk perempuan bercadar. Jleeb bangeet. Dari hati nuraniku, aku merasa nyaman berada di tengah-tengah mereka. Ada aura kedamaian. Di sisi lain, aku merasa kagum dengan mereka yang memilih hijrah. Menutup auratnya dengan sempurna, aku… Benar-benar merasa sangat, sangat you know i’m very guilty to Allah almighty, thinking all about my sins that i’ve done. I feel, so useless and so far from Allah.
Beberapa pelanggan membangunkanku dari lamunan. Tak disangka-sangka, ada banyak yang tertarik dengan jualan temanku. Tak banyak yang ada di lapak temanku. Ada nasi kuning, air mineral dan kue.
Di depan lapak temanku ada penjual Batagor, siomay, pisang ijo, salad buah, dan pakaian muslimah. Di sebelah kananku yang juga lapak lesehan, menjual kaos kaki, tempat air minum, pakaian dan juga kue. Di sebelah kiriku tak jauh beda dengan di sebelah kananku. Hanya saja ada tambahan, ia juga menjual aneka kerupuk.
Saat seminar dimulai, lokasi lapak mulai sepi. Aku dan Ayu sesekali bergurau, sesekali curhat. Nampaknya, kami berdua memang cocok. Dia suka berbicara, dan aku lebih suka jadi pendengar. Sesekali kami menguap. Maklum, waktu tidur semalam sangat minim. Sembari menjaga lapak, aku dan Ayu iseng membaca psikologi seseorang berdasarkan golongan darah. Dan tau gak, dari semua yang kami baca, hanya ada satu atau dua yang kurang sesuai. Yang lainnya seratus persen benar.
Usai membaca psikologi berdasarkan golongan darah, kami berdua tak dapat lagi melawan rasa kantuk. Akhirnya, aku menyuruh Ayu untuk tidur dulu sejenak. Aku masih bisa bertahan.
Saat temanku tertidur, semuanya terasa hening. Aku melihat sekeliling. Menerawang banyak hal, bertanya-tanya dalam hati. Seperti inikah kehidupan seorang penjual lesehan? Ada banyak orang berlalu lalang, namun belum tentu mereka membeli. Belum lagi ketika melihat lapak sebelah jauh lebih laris, rasanya ada rasa ngilu yang entah kenapa.
Seperti inikah perjuangan mereka? Tetap mempertahankan raut wajah tersenyum. Berdoa banyak-banyak dalam hati. Dan, bersyukur tak terkira ketika jualan laku.
Ah perasaanku campur aduk. Bahagia dan sedih di waktu yang sama. Namun, rasanya aku memenangkan sesuatu dalam diriku. Sesuatu yang selama ini menjadi bagian titik-titik hitam di qalbuku.
Usai sudah menjaga lapak temanku begitupun seminarnya. Aku yang tadinya super minder berada di tengah-tengah muslimah kini tak lagi canggung. Mereka begitu ramah. Kuniatkan dalam hati semoga suatu hari nanti, aku bisa memperbaiki penampilanku lebih muslimah.
Ayu si teman super humor pun terbangun dari mimpi indahnya. Kami pamit dengan teman yang punya lapak. Kami menolak komisinya. Memang awalnya aku tak mau menerima komisi dari temanku. Pengalaman yang kudapat hari ini karena ajakannya sungguh tak bisa ditukar dengan apapun.