“Seorang pelacur yang sukses lebih baik dari seorang yang suci sesat. Semua perempuan adalah korban penipuan. Lelaki memaksakan penipuan pada perempuan, dan kemudian menghukum mereka karena telah tertipu, menindas mereka ke tingkat terbawah, dan menghukum mereka karena telah jatuh begitu rendah, mengikat mereka dalam perkawinan, dan menghukum mereka dengan kerja kasar sepanjang umur mereka, atau menghantam mereka dengan penghinaan, atau dengan pukulan.”
Lets Talk About It
Perempuan di Tititk Nol merupakan karya pertama Nawal El-Saadawi yang saya baca. Penulis adalah seorang dokter berkebangsaan Mesir. Nawal merupakan novelis terkenal dan juga seorang penulis pejuang hak-hak wanita.
Pertama kali menemukan buku ini di aplikasi digital library iJakarta. Saya langsung tertarik dengan judulnya. Ada kisah apa dibalik perempuan di titik nol? kekerasankah? keputusasaankah? Awalnya kukira ini adalah novel fiksi berdasarkan hasil imaji seorang penulis, namun buku ini menceritakan kisah nyata perempuan Mesir yang mengalami diskriminasi. Sangat mudah membaca buku ini di aplikasi iJakarta, peminatnya pun lumayan banyak. Kata teman saya, buku ini menarik sebagai referensi bacaan dari sudut perempuan yang mengalami diskriminasi diantara kaum laki-laki.
Di tengah malam yang begitu hening sembari menyeruput secangkir kopi penghilang rasa kantuk, saya mulai membuka lembar demi lembar.
“Dan betapapun juga suksesnya seorang pelacur, dia tidak pernah dapat mengenal semua lelaki.Akan tetapi, semua lelaki yang saya kenal, tiap orang di antara mereka, telah mengobarkan di dalam diri saya hanya satu hasrat saja, untuk mengangkat tangan saya dan menghujamkan ke mukanya. Akan tetapi karena saya seorang perempuan, saya tak pernah punya keberanian untuk mengangkat tangan saya.” Hal. 14
Kata demi kata menghunjam kesanubari saya, seakan penulis membiarkan pembacanya menjelma sebagai Firdaus merasakan setiap getir kehidupannya namun, ia bukan Firdaus yang lemah, ia bermartabat dengan menyampaikan seluruh kisahnya, perlawanannya dan pendiriannya yang tak meminta penguasa mengulur eksekusi gantung diri atas hukumannya yang membunuh laki-laki.
Kisah ini bermula saat Nawal bekerja sebagai dokter Neuron dan meneliti psikologi para pasiennya yang kebanyakan di penjara. Ada banyak perempuan yang datang kepada Nawal meminta saran untuk kesembuhan gangguan mental, pemandangan di penjara yang disesaki perempuan menjadi santapan sehari-hari Nawal. Namun kali ini ada yang berbeda. Seorang perempuan dengan tatapan tajam dibalik penjara menyita perhatiannya. Perempuan itu bernama Firdaus. Ia tak seperti perempuan pada umumnya, membuat Nawal melobi berkali-kali agar dapat berbicara dengan Firdaus, dan sesaat sebelum eksekusi, Firdaus mengijinkan Nawal mendengarkan setiap inci kisahnya. Inilah kisah dari seorang perempuan Mesir yang direnggut kemerdekaannnya, inilah Firdaus yang kehilangan Tuhan dalam dirinya. Sebab cinta telah direnggut dari hidupnya, dari makluk yang sejenis dengannya, laki-laki.
“Saya dapat pula mengetahui bahwa semua yang memerintah adalah laki-laki. Persamaan di antara mereka adalah kerakusan dan kepribadian yang pernah distorsi, nafsu tanpa batas mengumpul uang, seks dan kekuasaan tanpa batas. Mereka adalah lelaki yang mengaburkan korupsi di bumi, yang merampas rakyat mereka, yang bermulut besar, berkesanggupan untuk membujuk, memilih kata-kata manis, dan menembakkan panah beracun. Karena itu, kebenaran tentang mereka hanya terbuka setelah mereka mati, dan akibatnya saya menemukan bahwa sejarah cenderung mengulangi dirinya dengan kekerasan kepala yang dungu.”
Kisah Firdaus adalah suara perempuan dimuka bumi ini yang mengalami hal yang sama. Kisah Firdaus mengingatkan pembaca baik laki-laki maupun perempuan akan persamaan hak, akan perlakuan yang harus menghormati kaum perempuan. Kisah Firdaus mengetuk nurani kita “manusia” untuk menyadari bahwa di luar sana masih banyak yang mengalami penderitaan dibalik topeng kebesaran.
Ini mengingatkan saya dengan buku yang berjudul Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur. Keduanya memiliki persamaan, perempuan yang direnggut kemerdekaannya hanya karena mereka perempuan yang bertemu atau hidup di antara laki-laki yang tak tahu adab.
Bagi pembaca dari kalangan laki-laki, kisah Firdaus dapat mengetuk nurani dan membuka kembali pikiran bahwa barangkali ada hak atau sesuatu yang telah diambil dari seorang perempuan. Kisah Firdaus mestinya membuat kaum laki-laki bertanya-tanya dalam diri, sudahkah memanusiakan manusia? Sudahkah memuliakan perempuan disekitar atau malah ikut menyumbang sebagai tokoh dalam kisah Firdaus?
Bagi pembaca perempuan, kisah Firdaus membuka mata kita lebar-lebar bahwa Firdaus dengan profesi seorang pelacur kerap dijadikan cemoohan dan bahan gosip pagi dan sore. Sejatinya, kita belum mengenal seperti apa kehidupan “pelacur” yang kerap kita hukumi sebagai perbuatan dosa besar. Saya bukan membenarkan perbuatan itu, namun ditilik lebih jauh, ada hal yang penting perlu untuk diketahui bahwa perempuan yang melacur tak lepas dari kurangnya perhatian dan tanggung jawab laki-laki yang mengembang tugas sebagai khalifah dimuka bumi ini. Saya tidak menyalahkan sepihak laki-laki dalam hal ini. Tapi, kisah Firdaus memberikan pandangan dari sisi yang berbeda. Bahwa kasus yang dialaminya tak lepas dari kurang beradabnya laki-laki memperlakukan perempuan sebagaimana mestinya. Firdaus memberikan kritikan pedas bagi kaum laki-laki yang berpangkat, memakai topeng agama, dan memiliki ucapan yang manis didepan khalayak, namun ketika berhadapan dengan perempuan, mereka tunduk dalam artian yang lebih kejam, menyiksa perempuan dan mengambil kemerdekaannya.
Baca Juga: The Untold Story “Kisah Lain dari Istri-istri Nabi”
Apa pesan dari kisah Firdaus?
Pembaca yang bijak akan mengambil sisi pandangan yang membuatnya memetik hikmah dari sebuah kisah. Firdaus membuat kita menyadari bahwa betapa penting memperhatikan hak-hak perempuan, memperlakukan perempuan sebagaimana turunnya alquran memuliakan kedudukan perempuan. Tidak semua kaum laki-laki melakukan hal yang sama seperti tokoh-tokoh yang dijumpai Firdaus semasa hidupnya. Mudah-mudahan kisah Firdaus dapat menginspirasi lebih banyak orang khususnya bagi para pembaca untuk memperhatikan hak-hak dan kebebasan perempuan.
Perempuan adalah manifestasi feminisme Tuhan. Sebagaimana seseorang yang menyadari manifstasi Tuhan, tentu ia akan menjaga, merawat dan menganggapnya bagian tak terpisahkan dari dirinya. Jika yang satu sakit, maka yang lain akan merasakannya juga. Mudah-mudahan tak ada lagi Firdaus-Firdaus yang merasakan hal yang sama.
Jadilah perempuan yang memiliki nilai. Begitu kata Firdaus pada Nawaal sebelum akhirnya dieksekusi dengan perasaan terhormat. Ia kembali pada Tuhannya.
Makassar, 14 September 18
Ah buku ini pilu sekali. Saya baca tahun 2000 silam. Nawal menuliskan dengan sangat tajam. Perempuan di Titik Nol ini menjadi pintu perkenalan saya dengan karya2 dokter feminis dari Mesir ini.
Iya mba, menilik dari kehidupan perempuan yang mengalami perlakuan tidak adil
Sepertinya asik nih. Saya suka buku dengan genre begini mba. pernah dengar juga ttg buku Tuhan Izinkan Aku Jadi Pelacur, via seorang teman yang menuturkan ulang hehhe
Iyah silahkan dibaca kak 🙂 gk kalah seru