Seperti apa rasanya tinggal di kota metropolitan?
Arus jalanan yang padat, persaingan yang ketat, percepatan informasi, gaya hidup yang semakin meningkat, dan lainnya.
Seperti apa rasanya tinggal di kota metropolitan? mungkin jawaban yang akan dilontarkan berbeda-beda, tergantung individu yang mengalaminya. Namun, apa yang membuat seseorang yang tinggal di kota kadang tidak betah?
Tentang lingkungan hidup yang sudah tidak nyaman.
Saat tinggal di kota metropolitan, kapan terakhir kalinya kita menghirup udara yang segar?
Saat melintasi sepanjang jalan kota, ada berapa pohon yang masih bertahan kokoh?
Saat tinggal di perumahan kota, berapa kali kita saling menyapa dengan tetangga sebelah?
Iyap, begitulah kehidupan d kota metropolitan. Semua memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun, sayang sekali jika yang menjadi kekurangan di kota metropolitan adalah lingkungan hidup yang merosot. Tumpukan sampah yang memenuhi kanal serta menurunnya inteaksi sosial.
Lantas, jika sudah terlanjur hidup di kota metropolitan, apa yang harus dilakukan?
“Memiliki lingkungan hidup yang bersih dimulai dari hal-hal yang kecil. Jika tinggal di kota ingin rasa desa, mulailah dari lorong kota.”
1. Memulainya dari lorong kota
Tak mungkin ada hal-hal besar yang terjadi tanpa dimulai dari hal-hal yang kecil. Begitulah prinsip saya yakini.
Beruntung saya tinggal di kota yang memiliki program Lorong Garden digagas oleh walikota Makassar. Lorong Garden sendiri bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang lingkungan hidup.
Baca juga: Fort Rotterdam, Rekomendasi Tempat Wisata Bersejarah di Makassar
Setelah lorong yang saya tinggali disulap menjadi lorong garden, saya merasa tinggal di desa setiap kali melintasi lorong tersebut. Tentunya menyulap lorong yang dulunya terlihat muram, banyak sampah di got, tidaklah mudah. Butuh kekompakan.
Namun, ternyata langkah ini bisa memberikan pengaruh bagi tempat-tempat lainnya. Tentu sebagai insprasi dan pembangun kesadaran akan kebersihkan.
2. Menghidupkan semangat gotong royong
Sebelum adanya program Lorong Garden, kami bertetangga masing-masing sibuk dengan aktifitasnya. Paling sering yang ngumpul cuma ibu-ibu, itu pun kalau sedang menunggu penjual sayur keliling (sometimes, saya menjadi pengamat ibu-ibu ahahha). Nah, saat lorong yang saya tempati dikonstruk ulang, kami mau tak mau bahu-membahu satu sama lain.
Ada yang menyiapkan teh, ada yang membuat kue, dan lainnya. Meskipun saya tak begitu terlibat, namun ada atmosfer baru yang saya rasakan. Adanya program Lorong Garden menghidupkan kembali semangat gotong royong yang biasanya mati di kota metropolitan.
3. Membudidayakan bunga-bunga
Setelah lorong yang saya tinggali berhasil dikonstruk ulang, di mana got-got dibersihkan, lorong di cat dengan warna yang cerah, tentu menanam bunga-bunga akan menambah nuansa alam.
Menanam bunga di pekarangan rumah bukan hanya sebagai lifestyle semata khususnya bagi ibu-ibu, namun merupakan sebuah simbol menjaga kelestarian alam.
Setiap melintasi lorong yang ditanami bunga-bunga, rasanya saya seolah berjalan di kampung halaman sendiri.
Menanam bunga di kota metropolitan memang terbatas, namun selalu ada cara kreatif. Misalnya menggunakan pot-pot bunga dari hasil kreasi daur ulang sampah.
Saya bersyukur tinggal seatap dengan seorang ibu yang begitu telaten memelihara bunga. Namanya bu Eni.
Baca juga: Kenangan Manis Tak Terlupakan di Sydney, Australia
Padahal, rumah yang saya tinggali hanya memiliki pekarangan sepetak, tapi bu Eni menyulapnya menjadi kebun bunga-bunga.
Apa yang bu Eni lakukan, kemudian menginspirasi tetangga-tetangga.
4. Menjaga lingkungan
Apa gunanya sebuah program menaman seribu pohon, lorong garden, dan lainnya jika kita tak menjaga lingkungan?
Saya teringat kalimat yang pernah guru bahasa Inggris saya lontarkan di kelas sebelum beliau memulai pelajaran.
“Nak, jika ada 1000 orang yang merusak lingkungan, jika ada 1000 orang membuang sampah sembarangan, janganlah menjadi yang ke 1001-nya”
Beliau menatap kami begitu dalam. Kalimatnya tentu saja tertancap di alam bawah sadar saya hingga detik ini. Maknanya? patilah sobat memahami.
Bagaimana dengan lingkungan di tempat tinggal kamu sobat? apa ada kiat-kiat lain menjaga lingkungan di kota metropolitan? share yuk di kolom komentar.
Wah kompak ya teh,seneng deh.
kotaku program kota, kalo saya jadi fasilitator untuk perumahan yang gak layak huni
wah keren kak
Wah instagramable banget jadinya mbak, bukan cuma indah tapi menarik mata dan hati. Semoga terus terjaga kelestariannya. Bukan hanya di kota besar, di desapun lingkungan tetap bisa rusak kalau penduduknya cuek akan kebersihan lingkungan.
bener banget mba, harus dimulai dari diri sendiri. Btw thanks sudah berkunjung 🙂
Di Bandung sekarang sudah lumayan bersih, di lingkungan tempat saya tinggal seminggu 2-3x ada yang membersihkan jalanan umum, rumah saya dipinggir jalan jadi lumayan bersih terus 🙂
di Banda Aceh juga ada nih KOTAKU, aku pikir awalnya apaa gitu, rumanya singkatan dari kota tanpa kumuh ya. itu program pemerintah atau apa ya mba?
hai ainhy edelwis benar gak yach bunda menuliskan namanya, seneng deh bunda baca tulisannya karena bunda kebetulan kerja Di Program KOTAKU hehe, cuma di blog bunda sendiri belum menuliskan, karena bunda sibuk menulisnya untuk blog kantor kwkwkw,..nah terus bunda suka sama blgnya banyak pernak perniknya ain,.. bunda sendiri gaptek dalam soal blog jadi minta di bantuin sama anak2 nah ajari bunda yach kedepannya salam kenal dari bunda
halo bundam wah makasih banyak sudah singgah di blogku hehehe. Salut sama bunda dhe meskipun sibuk, tapi tetap menyempatkan menulis,semangat yah 🙂
bukan hanya perkotaan, pedesaan pun semakin hari semakin tercemari dengan sampah